SD INPRES AMPIRI

TIDAK ADA PENGUMUMAN

Minggu, 01 Januari 2017

Tinjauan ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam sebuah kasus pendidikan

FILSAFAT PENDIDIKAN
Tinjauan ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam sebuah kasus pendidikan







KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis  panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayahnya-lah  sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui kajian-kajian ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam salah satu contoh kasus dalam dunia pendidikan.
Penulis juga mengucapkan banyak terimah kasih kepada teman-teman yang sudah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun semaksimal mungkin.Penulis menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun pemaparan materi.Oleh karena itu, di harapkan pembaca memberikan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan manfaat dan dapat memperluas wawasan pembaca sesuai dengan harapan.

                                                                        Makassar, 31 Desember 2016


                                                                        Penulis



DAFTAR ISI
Kata pengantar……………..………………………………..……….           i
Daftra isi………………………………………………………..……..         ii
Bab 1 Pendahuluan…………………………………………………….     1
Bab 2. Kajian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
            a. Kajian ontologi…..………………………………..……….           3
            b. Pandangan epistemologi………………………….……….           6
            c. Kajian aksiologi………………………………………….. 8
Bab 3. Penutup……………………………………………………….         12
           


BAB 1
PENDAHULUAN
       Kekerasan adalah berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh  Charters (dalam Anshori, 2008) dan Salim (1991&1987) diartikan sebagai tindakan keras (baik fisik maupun non fisik) yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau dengan tujuan mendidik yang menimbulkan luka fisik maupun psikis.
Hal yang menyangkut, hukuman fisik bagi anak-anak, menurut  hasil penelitian ini yang meliputi dilema hukuman fisik terhadap anak-anak, [1][1] yang sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun 2002. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik, kepada anak-anak.”
Permasalahan
Dari artikel “    Jika Murid Salah,Bolehkah Guru Menghukum “,ada beberapa permasalahan :
1.   Perilaku siswa yang di anggap tidak sopan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan karena menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.
2.  Hukuman yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang dianggap melanggar tata krama.
3.  Hukuman fisik yang dilakukan oleh guru berupa penamparan sebagai upaya untuk mendiskripsikan anak.
4.    Reaksi orang tua terhadap hukuman fisik yang di lakukan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan.


BAB 2
KAJIAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
1. Kajian-Kajian Ontologi
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik.
 Di lingkungan pendidikan para guru biasa menerapkan norma kejujuran dan kedisiplinan. Namun untuk melaksanakannya tidak mudah, karena ada banyak siswa dengan berbagai macam karakter yang harus di didik.
Belakangan ini banyak terjadi berbagai macam kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan yang berhubungan dengan kekerasan yang di lakukan oleh guru terhadap anak didiknya. Seperti contoh artikel “JIKA MURID SALAH, BOLEHKAH GURU MENGHUKUM
Kebanyakan dari kasus yang terjadi disebabkan oleh penerapan norma kedisiplinan yang terlalu di paksakan terhadap anak didik. Sedangkan tidak semua anak didik terbiasa dengan perilaku disiplin. Cara penanaman kedisiplinan yang salah dapat berupa terjadinya kekerasan baik fisik maupun mental terhadap anak. Hal yang paling terlihat adalah kekerasan fisik. Tidak jarang hal ini sampai ke pengadilan karena orang tua siswa merasa di rugikan.
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru yang memukul  salah satu siswanya karena kedapatan menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.Spontan guru tersebut memukul iswa karena menganggap anak tersebut sudah melanggar tatakrama.
Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan 
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1.    Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2.    Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)
3.    Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.Seperti yang tercantum dalam Pasal 54 :“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
Tinjauan dari Landasan Filsafat Pendidikan 
Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008,  yang  jumlahnya sebanyak 362 kasus.
Begitu banyak kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan hal yang menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi di negara kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan sila kedua Pancasila. Segala bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai kemanusiaan khususnya hak asasi manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan mendapatkan konsekuensi hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di negara kita
2.  Pandangan Epistemologi
Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying. Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah

Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena :
  1. Guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya
  2. Guru mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik. Sebaliknya, mereka membenci dan tidak respek lagi padanya. 
  3. Kurangnya kasih sayang guru. Seharusnya guru memperlakukan murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko Indarwanto,2004). 
  4. Kurang kompetensi kepala sekolah membimbing dan mengevaluasi pendidik di sekolahnya. 5. Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki  rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan keras.
  5. Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku,
  6. Persepsi guru yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan itu,
  7. Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
  8. Adanya tekanan kerja guru: target yang harus dipenuhi oleh guru, seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa, sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
  9. Pola yang dianut guru adalah mengedepankan factor kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guru ke murid),
  10. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan efektif, sehingga guru dalam mengajar suasananya kering, stressful, tidak menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi,
  11. Tekanan ekonomi, pada gilirannya bisa menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil,seperti berpikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan.. 

3.  Tinjauan aksiologi
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dan duniamnilai, menjadi penentu dan dasar tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yangdirumuskan tanpa memperhatikan ajaran dan dunia nilai adalah hampa. Selain itu,aksiologi akan memberikan sumbangan dalam penilaian hasil-hasil pendidikandan proses pendidikan dalam kedudukannya sebagai gejala sosial, kultural, danpolitis.Terutama apabila pembahasan pendidikan bersangkut paut dengan masalah kesusilaan dan keagamaan. Uraian tadi jika dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat mencakup nilai nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedomandalam pembuatan, terutama dalam  pekerjaan mendidik. 
Dengan kata lain, mendidik adalah merealisasikan nilai nilai yang dimiliki Guru selama nilai nilai tersebut tidak bertentangan dengan hakekat anak didik. Nilai-nilai dalam pendidikan bersumber pada filsafat atau ajaran filsafat, yang telah berakar dalam sosio-kultural atau kepribadian suatu bangsa, yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat hidup. Jadi jelas, bahwa ide ide filsafat menentukan pendidikan. Jika masalah pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia, maka masalahkepribadian pun mempunyai ruang lingkup yang luas, yang didalamnya terdapat masalah sederhana menyangkut praktik dan pelaksanaan sehari hari.
Masa remaja (usia sekolah) adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, semisal rokok. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak4.

Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.
Solusi :
1.  Peran orang tua dan guru 
Kurikulum apapun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya apabila system hukuman fisik masih diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan anak-anak kita dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak. Orangtua mesti ikut mengurangi mengatasi kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung pengadilan. 
2. Peran komite sekoah
Komite Sekolah mesti mengatasi dan meniadakan praktik kererasan, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan sebagainya.




BAB 3
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat. 
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
Kita semua berharap kisah-kisah suram kekerasan oleh pendidik dan orang tua secara umum tidak terjadi lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.





0 komentar:

Posting Komentar