FILSAFAT PENDIDIKAN
Tinjauan ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam sebuah kasus pendidikan
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena
atas rahmat dan hidayahnya-lah sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui kajian-kajian
ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam salah satu contoh kasus dalam dunia
pendidikan.
Penulis juga mengucapkan banyak terimah kasih kepada
teman-teman yang sudah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan
baik.
Makalah ini disusun semaksimal mungkin.Penulis menyadari
masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun pemaparan
materi.Oleh karena itu, di harapkan pembaca memberikan kritik dan saran untuk
lebih menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan manfaat dan dapat memperluas
wawasan pembaca sesuai dengan harapan.
Makassar,
31 Desember 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata pengantar……………..………………………………..………. i
Daftra isi………………………………………………………..…….. ii
Bab
1 Pendahuluan……………………………………………………. 1
Bab
2. Kajian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
a.
Kajian ontologi…..………………………………..………. 3
b.
Pandangan epistemologi………………………….………. 6
c.
Kajian aksiologi………………………………………….. 8
Bab
3. Penutup………………………………………………………. 12
BAB 1
PENDAHULUAN
Kekerasan adalah
berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh Charters (dalam Anshori,
2008) dan Salim (1991&1987) diartikan sebagai tindakan keras (baik fisik
maupun non fisik) yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dengan alasan
pendisiplinan atau dengan tujuan mendidik yang menimbulkan luka fisik maupun
psikis.
Hal yang menyangkut, hukuman fisik bagi
anak-anak, menurut hasil penelitian ini yang meliputi dilema hukuman
fisik terhadap anak-anak, [1][1] yang sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun
2002. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54
secara tegas menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di
sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik, kepada anak-anak.”
Permasalahan
Dari artikel “ Jika Murid Salah,Bolehkah Guru Menghukum “,ada beberapa permasalahan :
1. Perilaku siswa yang di anggap tidak sopan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan karena menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.
2. Hukuman yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang dianggap melanggar tata krama.
3. Hukuman fisik yang dilakukan oleh guru berupa penamparan sebagai upaya untuk mendiskripsikan anak.
Dari artikel “ Jika Murid Salah,Bolehkah Guru Menghukum “,ada beberapa permasalahan :
1. Perilaku siswa yang di anggap tidak sopan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan karena menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.
2. Hukuman yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang dianggap melanggar tata krama.
3. Hukuman fisik yang dilakukan oleh guru berupa penamparan sebagai upaya untuk mendiskripsikan anak.
4. Reaksi orang tua terhadap hukuman
fisik yang di lakukan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan.
BAB 2
KAJIAN ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
1. Kajian-Kajian Ontologi
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik
dengan kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi
kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya
dalam dunia pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada
anak didik.
Di lingkungan pendidikan para guru biasa
menerapkan norma kejujuran dan kedisiplinan. Namun untuk melaksanakannya tidak
mudah, karena ada banyak siswa dengan berbagai macam karakter yang harus di
didik.
Belakangan ini banyak terjadi berbagai macam
kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan yang berhubungan dengan kekerasan
yang di lakukan oleh guru terhadap anak didiknya. Seperti contoh artikel “JIKA
MURID SALAH, BOLEHKAH GURU MENGHUKUM”
Kebanyakan dari kasus yang terjadi disebabkan
oleh penerapan norma kedisiplinan yang terlalu di paksakan terhadap anak didik.
Sedangkan tidak semua anak didik terbiasa dengan perilaku disiplin. Cara
penanaman kedisiplinan yang salah dapat berupa terjadinya kekerasan baik fisik
maupun mental terhadap anak. Hal yang paling terlihat adalah kekerasan fisik.
Tidak jarang hal ini sampai ke pengadilan karena orang tua siswa merasa di
rugikan.
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk
di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di
beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang
terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Belakangan ini masyarakat dikejutkan
dengan berita mengenai seorang guru yang memukul salah satu siswanya
karena kedapatan menuliskan kata-kata jorok di dalam buku sakunya.Spontan guru
tersebut memukul iswa karena menganggap anak tersebut sudah melanggar
tatakrama.
Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan
dengan:
1. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan
nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
2. Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)
2. Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)
3. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini
bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan
yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.Seperti yang tercantum
dalam Pasal 54 :“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya.”
Jika melihat undang-undang tersebut,
sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak
merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan
kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai
tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
Tinjauan dari Landasan Filsafat Pendidikan
Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada
tahun 2009 telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472
kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak
362 kasus.
Begitu banyak kekerasan yang terjadi di
sekolah merupakan hal yang menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan
seharusnya tidak terjadi di negara kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini
terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan sila kedua Pancasila. Segala
bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai kemanusiaan khususnya hak asasi
manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan mendapatkan konsekuensi hukum
sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di negara kita
2. Pandangan Epistemologi
Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai
suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara
fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata,
tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan
efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan
dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying. Pada
kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh
teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap
muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut
dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi
apabila terjadi di lingkungan sekolah
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena :
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena :
- Guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya
- Guru mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik. Sebaliknya, mereka membenci dan tidak respek lagi padanya.
- Kurangnya kasih sayang guru. Seharusnya guru memperlakukan murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko Indarwanto,2004).
- Kurang kompetensi kepala sekolah membimbing dan mengevaluasi pendidik di sekolahnya. 5. Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan keras.
- Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku,
- Persepsi guru yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan itu,
- Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
- Adanya tekanan kerja guru: target yang harus dipenuhi oleh guru, seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa, sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
- Pola yang dianut guru adalah mengedepankan factor kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guru ke murid),
- Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan efektif, sehingga guru dalam mengajar suasananya kering, stressful, tidak menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi,
- Tekanan ekonomi, pada gilirannya bisa menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil,seperti berpikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan..
3. Tinjauan aksiologi
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang
mempelajari nilai-nilai dan duniamnilai, menjadi penentu dan dasar tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan yangdirumuskan tanpa memperhatikan ajaran dan
dunia nilai adalah hampa. Selain itu,aksiologi akan memberikan sumbangan dalam
penilaian hasil-hasil pendidikandan proses pendidikan dalam kedudukannya
sebagai gejala sosial, kultural, danpolitis.Terutama apabila pembahasan
pendidikan bersangkut paut dengan masalah kesusilaan dan keagamaan. Uraian tadi
jika dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat mencakup nilai
nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedomandalam pembuatan,
terutama dalam pekerjaan mendidik.
Dengan kata lain, mendidik adalah
merealisasikan nilai nilai yang dimiliki Guru selama nilai nilai tersebut tidak
bertentangan dengan hakekat anak didik. Nilai-nilai dalam pendidikan bersumber
pada filsafat atau ajaran filsafat, yang telah berakar dalam sosio-kultural
atau kepribadian suatu bangsa, yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat
hidup. Jadi jelas, bahwa ide ide filsafat menentukan pendidikan. Jika masalah
pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan
kehidupan manusia, maka masalahkepribadian pun mempunyai ruang lingkup yang
luas, yang didalamnya terdapat masalah sederhana menyangkut praktik dan
pelaksanaan sehari hari.
Masa remaja (usia sekolah) adalah periode
dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi
di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka.
Elliot Turiel menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri
dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan
mereka, semisal rokok. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku,
sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.
Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan
lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak
melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini
diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat
adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam
suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak4.
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.
Solusi :
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.
Solusi :
1. Peran orang tua dan guru
Kurikulum apapun yang mencoba membangun
generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya
apabila system hukuman fisik masih diimplementasikan dalam dunia pendidikan
sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang
tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di
sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat
yang masih sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga
perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara
dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan
melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan membentuk mental yang bagus
dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus dipahami sebagai suatu
kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak juga
harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi yang
hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting
adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan
pendapat-pendapat mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan
anak-anak kita dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat besar dalam
menciptakan kepribadian seorang anak. Orangtua mesti ikut mengurangi mengatasi
kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung
pengadilan.
2. Peran komite sekoah
Komite Sekolah mesti mengatasi dan meniadakan
praktik kererasan, yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah, agar
tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak menghormati orang lain, pemarah,
pembenci dan sebagainya.
BAB 3
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk
menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah
dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di
dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan
dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara lain, landasan hukum,
psikologi, sosial budaya dan filsafat.
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua
unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah
atau menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap
menerima sanksi.
Kita semua berharap kisah-kisah suram
kekerasan oleh pendidik dan orang tua secara umum tidak terjadi
lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan
traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti
tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian
melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar